Thursday, October 4, 2007

Kisah Ibu Guru

Alkisah,
di sebuah kota yang memiliki gubernur yang bikin busway aja nggak becus tapi punya ambisi mo jadi RI 1, hiduplah seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru CPNS di sebuah sekolah negeri.
Ibu guru yang menghabiskan separuh hidupnya di dalam bus kota ini, telah menemukan cara terbaik untuk mengisi waktu hingga tiba ke tujuan.
Bukan, ia sudah lama berhenti membaca dalam bus ketika tahu bahwa hal itu berpotensi merusak mata.
Tidak, ia juga tidak lagi suka mendengarkan MP3 Player-nya karena konon terlalu lama memakai earphone dapat mengakibatkan ketulian.
Yup,
ia lebih suka membiarkan dirinya berkelana di alam mimpi.
Jadi, ketika siang itu ia naik bus dan tempat satu-satunya adalah di baris kedua dari belakang, di sebelah seorang anak laki-laki usia SD (mungkin tujuh tahun), ia duduk di sana.
Setelah beberapa kali mencuri pandang ke arah si anak SD dan memastikan ia anak baik-baik (baca: bukan copet), tak lama kemudian ibu guru jatuh tertidur.
Sempat terbersit dalam benaknya, "Ni anak cakep juga."
(Harap maklum, ibu guru satu ini punya bakat fedofil. Makanya dia lebih memilih jadi guru SMP daripada guru SMA :P)
Ia terbangun ketika bahu kanannya terasa berat. Ternyata si anak SD terlelap di sana.
Terlelap pasrah dan membiarkan berat kepalanya memenuhi bahu si ibu guru, seakan yakin ia akan aman di sana.
Sebuah keharuan yang aneh merayapi seluruh tubuh ibu guru.
Bercampur rasa sayang dan hasrat ingin memiliki.
Alangkah mengherankan,
tiba-tiba saja ia membayangkan si anak ini adalah anak kandungnya.
Pasti menyenangkan disandari bahu seperti ini oleh anak sendiri, pikirnya.
Lalu bus masuk ke terminal, dan seorang ibu muda dari barisan depan tampak berjalan menuju bangku mereka.
Ibu muda itu tersenyum pada ibu guru, sebuah senyum seakan minta dimaklumi, lalu tangan lembutnya menggapai si anak, "Bangun, Sayang, kita sudah sampai."
Setelah ibu muda itu minta maaf pada ibu guru yang bahunya disandari si anak selama entah berapa lama dan ibu guru menjawab dengan sepenuh hatinya bahwa ia sama sekali tidak keberatan, ibu muda dan anaknya berlalu.
Ibu guru masih terus menatap kedua punggung itu sampai mereka menghilang ditelan keramaian terminal.
Tanpa sadar ia mengusap perutnya, sangat berharap kelak punya anak begitu tampan yang akan bersandar padanya penuh kepercayaan begitu rupa, membuatnya rela melakukan segalanya hanya untuk membuatnya tetap aman dan tersenyum.

No comments: