Saturday, January 31, 2009

Hanung Gagal Menemukan Annisa

Yah, sebagai orang yang selalu ketinggalan, saya pengen, dong, sekali-sekali duluan, gitu.
Maka ketika melihat poster film Perempuan Berkalung Sorban yang keren abis (bayangin, di situ Revalina S. Temat pake jilbab item dan mengalungkan sorban di lehernya, menghadap kamera dengan wajah sendunya nan cantik itu, sementara ia ada di lautan perempuan berjilbab putih yang membelakangi kamera. Nangkep banget kan apa tema filmnya?) dan tau bahwa film ini ada novelnya, beranjaklah saya ke Gunung Agung di Atrium.

Di sana saya dan mas-mas yang sangat berorientasi pelanggan (makasih banyak, ya, Mas) mengubek-ubek rak novel karena novel ini emang nggak terlalu booming jadi susah nyarinya.
Setelah ketemu, dengan rasa bahagia yang tak terhingga, saya bayar di kasir dan membacanya sepanjang perjalanan pulang.
Dan mendapati diri saya agak kecewa.
Novel ini, kan, digembar-gemborkan kontroversial. Setelah saya baca, kok , biasa aja. Malah agak mirip pemikiran saya bahwa dalam urusan domestik (rumah tangga), laki-laki lebih beruntung, sebab tugasnya cuma nyari nafkah, sementara perempuan mulai dari subuh sampe tengah malem kerjaannya nggak selesai-selesai (bersyukur suami saya tipe suami yang mau bantu-bantu. Mungkin suami saya berpikiran seterbuka Lek Khudhori ^ ^).
Novel ini juga menekankan perlunya perempuan menuntut ilmu, sekolah tinggi, dan mengembalikan Alquran ke tempat sebenarnya.
Sebetulnya kurang sreg juga karena pergaulan Annisa dengan Lek Khudhori terlalu mesum mengingat di situ Annisa baru berusia 12 tahun, tapi gpp, deh, namanya juga cinta, pikir saya.
Sebetulnya, yang saya tangkap dari novelnya, Abidah mengkritik pesantren yang lebih mementingkan dan manut sama kitab kuning walaupun isinya bertentangan dengan Alquran dan hadits.
Alquran memandang lelaki dan perempuan setara, sedangkan kitab kuning menistakan perempuan.
Herannya, kitab kuning masih aja dipake di pesantren.

Tokoh Annisa di sini adalah anak yang patuh pada orang tua. Pemberontakannya lebih pada konflik batin, pada pemikiran-pemikirannya yang cerdas dan out of the box. Jadi emang novelnya tu sepi konflik.
Yah, saya pikir Hanung yang bisa membuat AAC jauh lebih menyenangkan daripada novelnya, bisa membuat Perempuan Berkalung Sorban juga jadi bagus.
Ealah, ternyata saya berharap terlalu banyak: filmnya malah lebih mengecewakan!
Bo, Annisa itu cerdas karena yang dia baca adalah jurnal luar negeri, baca deh novelnya pas bagian dia ke kota bareng temennya.
Bukan karena buku-bukunya Pram!
Plis, deh, Pram kan nggak ada apa-apanya sampe bisa menggerakkan kepribadian seseorang untuk berubah.
Soeharto aja yang terlalu takut makanya Lekra dilarang.
Oiya, dua-duanya udah mati ya. Dilarang menjelek-jelekkan orang yang sudah tiada. Mohon maaf.
Kembali ke film.
Annisa adalah keluarga Salafi yang dibesarkan dalam ayat-ayat Alquran dan hadist abis. Makanya walaupun pemberontak, dia punya dasar agama yang kuat.
Annisa novel adalah perempuan yang walaupun mengalami KDRT dalam keluarga, tetap bertahan.
Itu namanya tegar.
Annisa film adalah perempuan yang membuka jilbab dan kancing bajunya sambil berteriak, "Zinahi aku, Lek!"
Bo, itu namanya PUTUS ASA!
Ya Tuhan, jauh banget loh bedanya tegar dengan putus asa!
Dan apa-apaan itu bakar-bakar buku? Emangnya FPI? Juga rajam!
Trus, emangnya pesantren bisa merger, yah? LOL
Intinya:
film ini lebay (mungkin karena produsernya India), Hanung gagal menemukan Annisa, penulis skenario tampaknya pembenci Islam.
Menontonnya adalah buang uang sia-sia, mending tunggu taun depan, ntar juga tayang di tipi :P


NB: yang udah telanjur nonton, belilah novelnya.

Thursday, January 15, 2009

Rumus Kebahagiaan

Ih, waw (terpengaruh Iin di sinetron Kepompong), udah setahun aja nggak posting tulisan :P
Hari ini mo nulis rumus kebahagiaan, ah.
Kebahagiaan itu adalah sesuatu yang berlipat ganda kalo dibagi.
Kebahagiaan : 2 = kebahagiaan pangkat dua.
Matematika sangat nggak berfungsi bila berurusan dengan perasaan. Sebetulnya menurut saya sih matematika baru berguna buat ngitung pengeluaran dan pemasukan, terutama saat belanja di tukang sayur xD
Oh, enough with this crap, saya akan langsung ke tujuan utama.
Jadi, selama ini saya pikir seluruh pengabdian saya (duh, lebay) hanya akan berujung pada satu hal: Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ternyata oh ternyata, dari seorang senior waktu SMU dulu, saya tahu ada program beasiswa buat guru, ke Jepang!
Ulangi: Jepang!
Sekali lagi: JEPANG!!!
Tapi ya tentunya masih ada serangkaian tes dan wawancara. Dan berhubung saya ini orang yang selalu berpikir positif, saya yakin insya Alloh diterima. Yang jadi masalah kan gimana setelah diterima, ya nggak?
Anak saya si ultra cute Nadya mo dikemanain? Bapaknya sih nggak masalah, udah gede ini :P
Kalopun bisa dibawa dengan biaya sendiri, ntar di sana saya tetep momong bayi dan bukannya belajar. Suami juga nggak mungkin nyari kerja di sana, visanya kan bukan visa kerja.
Jadi, yah... sudahlah... lagian kalopun misalnya di-ACC suami n entah bagaimana caranya ada orang terpercaya untuk dititipin Nadya selama satu setengah tahun, tetep aja saya bakal menyentuh kelopak bunga sakura, menghirup wanginya, menggenggam salju, pergi ke kuil, menyaksikan bon odori, ke harajuku : sendirian.
Apa enaknya?